Cerpen

Bara Di Ujung Sumatra
Oleh; Hilal Fansuri

Langit tiba-tiba saja mendung. Cuaca berubah dengan cepat. Padahal sejam yang lalu sinar matahari teriknya menggila. Kini, Awan-awan hitam datang berarak. Suara guntur mulai memberi peringatan. Desau angin seakan berbisik pada manusia untuk segera mencari tempat berteduh. Namun pria itu masih terus berjalan mendekati sebuah perkuburan raksasa. Di dalamnya terdapat ratusan ribu jasad manusia yang mungkin sudah menjadi kerangka. Salah satunya jasad orang terakhir yang ia cintai dan mencintainya. Ia mulai menaburkan bunga. Bunga Itu, mawar melati yang ia tanam di perkarangan rumahnya, khusus untuk ia tabur di sana tiap tahunnya. Gerimis menyapa perlahan, menyirami melati dengan lembut. Aromanya semerbak. Pemuda itu mulai meneteskan air mata. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

Ia mulai mendesak. Suaranya kecil. Hanya terdengar oleh semut-semut yang mulai membuat sarang di samping kuburan itu.

“Dela, aku datang lagi, menjengukmu di sini? Apa kabarmu Del? Di dalam sana pasti ramai sekali, pasti tak pernah sepi. Setidaknya ada malaikat baik yang menemani. Sedangkan aku disini, masih sendiri. Tak ada yang menemani. Tanpa Allah di hati, aku masih sepi, namun sekarang aku sudah bisa menghadirkan-Nya disini, di hati, aku tak lagi merasa sepi.”

Gelegar guntur tiba-tiba membawanya kembali pada bayang-bayang hitam kelam kehidupannya beberapa tahun lalu. Saat negerinya sedang dilanda bara perang saudara, mayat dimana-mana. Darah yang kadang mengalir memenuhi selokan. Bercampur menodai jernihnya air sungai di kampungnya.

Petaka dalam hidupnya dimulai, saat itu petir di langit menggelegar dan hujan menyirami bumi. Ia baru saja pulang dengan sebuah ijazah kebanggaannya untuk ia perlihatkan pada keluarganya. Namun Daniel malah kehilangan segalanya. Ia telah kehilangan orang tua, abang dan kakaknya dalam sebuah pembunuhan berdarah yang baru terjadi di perkarangan rumahnya. Daniel akhirnya memutuskan menyingkir ke kota Banda Aceh untuk menyelamatkan nyawa. Saat itu, di tengah bara konflik yang semakin memanas, siapa saja bisa menjadi korban fitnah, siapa saja bisa kena peluru nyasar. Berada di desa, ia terus di hantui dengan bayang-bayang peluru nyasar yang kapan saja bisa menembus tempurung kepalanya. Ia juga trauma dengan bayang-bayang mayat orang-orang yang ia cintai, ia trauma dengan bau anyir darah yang mengalir memenuhi selokan rumahnya.

Dengan bekal seadanya ia memutuskan mengundi nasib ke Banda Aceh, sambil berharap ada yang akan berubah dari hidupnya. Berbeda dengan kawan-kawannya yang juga korban konflik, mereka lebih memilih bertahan di desa walau bahaya bisa datang kapan saja.

Seminggu di Banda Aceh, bekalnya semakin menipis, ia juga belum punya tempat tinggal, ia bahkan belum mulai bekerja sedikitpun. Ke banda aceh, ia bahkan lupa membawa ijazah SMA-nya. Suatu ketika semua perbekalannya ludes dicuri orang. Ia semakin merana. Ia mulai tidur di kolong jembatan, mulai mencari makanan sisa di tempat-tempat sampah hanya untuk sekedar mengisi perutnya yang kosong total. Suasana kota yang kurang bersahabat dengannya, membuatnya semakin tertekan. Saat itu, dengan kondisi iman yang semakin menipis, ia ingin berontak pada lingkungan tersebut.

Saat itu, malam telah larut, manusia-manusia sedang menikmati damai di alam mimpi. Daniel juga lelah, ia ingin sejenak memejamkan mata untuk berjumpa dengan Abi dan Umminya di alam sana. Jika nanti benar-benar jumpa, ia ingin berkata pada mereka; “Abi, Ummi, Daniel lelah, Daniel ingin ikut sama kalian saja disana, disini tak ada yang mau menemani Daniel.” Daniel memang sedikit manja dengan orang tuanya, maklum saja ia anak terakhir. Namun tiba-tiba, saat mata Daniel semakin terpejam, saat ia hendak bertemu umminya…

“Door, Door, Door...!

Suara tembakan memecah keheningan. Ia terhenyak dan gemetar ketakutan. Ia tak ingin ada lagi darah yang mengalir di hadapannya. Tiba-tiba, seorang pria berkulit gelap jatuh sekonyong-konyong di hadapannya. Darah terus merembes dari kaki kanannya. Sebuah peluru bersarang disana.

“Anak muda, tolong aku, tolong jangan beritahu polisi keberadaanku” ucap buronan tersebut. Daniel semakin gemetar, ia mengangguk pelan. Si buron bersembunyi.

Tak lama kemudian polisi datang menanyakan seorang buronan berkulit gelap bernama Petrus. Daniel menunjuk penuh yakin ke arah samping kanannya, ke arah yang salah. Tanpa sadar, saat itu ia telah menyelamatkan seorang gembong mafia.

Beberapa hari kemudian Petrus mendatanginya untuk berterima kasih. Mulai saat itu ia semakin dekat dengan petrus dan kelompoknya. Ia merasa hanya Petrus yang mau menjadi temannya. Hingga suatu saat, ia memutuskan bergabung dengan sindikat mafia narkotika tersebut. Petrus menyambutnya gembira. Mulailah ia tersesat ke lembah hitam, namun ia tetaplah belum sanggup melihat darah. Petrus mempercayakannya untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran barang tiap bulan.

********

Malam itu, ia berdiri sendiri di depan cermin, tersenyum.
"Daniel, Daniel muhammad." Ucapnya sambil menyodorkan tangan kanannya, meniru kembali gaya perkenalannya dengan gadis itu. Gaya yang sebenarnya agak kampungan, karena ia hanya pria kampung yang belum terlalu memahami sisi-sisi kehidupan kota. Ia bahkan belum tahu trik berkenalan dengan seorang wanita. Namun cinta terlalu cepat menyapanya. Mungkin tuhan ingin mengubah kelam hidupnya, dengan cinta.

Cinta itu bernama Dalilah, biasa dipanggil Dela. Kehadirannya sejenak bisa membuatnya melupakan bayang-bayang darah yang pernah mengalir memenuhi perkarangan rumahnya. Teduh wajahnya bisa menahan benih-benih dendam yang tumbuh di tiap sel-sel darahnya. Ia hadir dalam hidupnya, tiba-tiba saja, tanpa diundang, tanpa disangka. Ia hadir mengisi hari-harinya yang kelam, menghiasi malam-malamnya yang gersang. Ia hadir mengembalikan impiannya yang sempat hilang. Benarlah kata pepatah, cinta itu bisa datang kapan saja, dimana saja, tanpa mengenal usia.

Sore itu Dela baru saja pulang kuliah tambahan, saat seorang pencuri berusaha merampas tas jinjingnya. Spontan saja daniel menolongnya. Ia menghajar pencuri tersebut. Lalu mengembalikan tas Dela. Ia tak sadar saat mengahajar pencuri tersebut, dompet Dela terjatuh dari tasnya. Ia baru sadar ketika Dela sudah naik bis. Esok harinya dari pagi hingga sore ia menunggu Dela di lingkungan kampus untuk mengembalikan dompetnya. Ia berjumpa dengan Dela, ia kembalikan dompetnya. Saat itulah ia berkenalan dengan Dela… Hari demi hari, Daniel semakin dekat dengannya. Dela hadir dalam hidupnya saat ia telah merasa kehilangan segalanya.

******

Sudah tiga tahun ia tersesat ke dunia hitam. Dunia yang sebenarnya membuatnya juga menderita batin. Namun, sejak dua bulan yang lalu ia bertemu Dela, ada kedamaian yang menyusup ke relung hatinya. Terutama sejak Dela menerima cintanya. Dela juga mengajaknya segera menikah. Ia sempat gugup, namun kini tekadnya sudah bulat. Ia ingin kembali ke jalan yang benar. Daniel menilai, Dela adalah seorang gadis shalehah, bahkan sejak ia menyatakan cintanya, ia tak pernah lagi bertemu dengannya. Paling sesekali sekedar sms-an. Daniel berulang-ulang membaca sebuah sms dari Dela.

“Bersabar sajalah, pertemuan kita setelah ijab qabul akan lebih indah”

Ia semakin bertekat untuk menjadikannya sebagai pembimbing hidupnya.

“Tok, tok, tok!”
Ketukan pintu membuyarkan lamunan Daniel. Ia membuka pintu, Petrus dan Marwan datang.
“Hei bung! Ke mana aja lu, kagak pernah lagi ke markas!” Ucap Marwan. Daniel hanya tersenyum simpul.
“Dan, walaupun kamu mau berhenti bekerja sama kami, aku bisa maklumi. Namun kali ini ada kabar gembira untukmu” Petrus memegang bahunya.
“kabar apa itu, bang?” tanya Daniel heran.
“Barang yang kita selundupkan bulan lalu sudah sampai dengan aman, mantap juga cara yang kau usulkan, Dan!”
Daniel tersenyum agak dipaksa. Ia merasa menyesal telah memberikan ide.
“Malam ini kami ingin memberikan jatahmu, sekalian kita merayakan keberhasilan ini.” Ujar Marwan sambil meletakkan uang dan beberapa botol wisky di atas meja.
“Maaf bang, aku gak bisa menerima ini, aku merasa gak membantu apa-apa, kemarin aku sekedar memberi ide. Pun, aku kurang sehat. Dokter bilang, aku harus berhenti minum.” Balas Daniel sekedar beralasan.
“Kalau kau tak mau minum lagi, ya sudah, aku bisa terima. Tapi uang ini harus kau ambil, ini jatahmu, kawan!”
“Baiklah.” Ucap Daniel sambil tersenyum santai. Ia ingin membagikannya pada fakir miskin, daripada uang itu di mamfaatkan untuk hura-hura oleh mereka. Petrus tersenyum lebar.

“Emm, kalau lu kagak mau minum, ya sudah, biar kami yang tegak ini wisky” ujar Marwan. Daniel diam, ia serba salah, tak tahu harus bagaimana.
Petrus dan Marwan segera menegak wisky tersebut. Petrus meraih remote televisi, ia memilih berita. Ada berita kriminal, si reporter sedang meliput pembunuhan satu keluarga yang sangat sadis, darah dimana-mana. Siaran tersebut juga menampakkan potongan-potongan mayat secara transparan. Daniel terhenyak. Ia menggigil. Bayangan peristiwa tragis yang menimpa keluarganya tiga tahun lalu Kembali hadir. Ia memegang keras kepalanya. Trauma itu belum hilang. Selama ini, biasanya untuk menghadapi keadaan begitu, ia perlu penenang, ia perlu wisky. Tanpa pikir panjang ia langsung menegak wisky. Ia menghabiskan dua botol sekaligus. Ia mabuk. Kemudian tak sadarkan diri. Petrus dan Marwan yang sudah mabuk heran melihatnya.

“Tit, tit.. Tit, tit..” Jam 5.30 sebuah sms masuk. Dengan penuh rasa malas ia membuka hp-nya. Dari Dela… Ia membacanya

“Bang, bersabarlah…
Sepahit apapun getir kehidupan yang kau rasa
Sesakit apapun luka yang kau derita
Sesusah apapun jalan yang kau telusuri
Tegarlah, seperti karang di lautan yang tak tergoyahkan riak gelombang
Bang, bangun shalat subuh…”

Sejenak ia merasa ada yang aneh, tak biasanya Dela mengirim sms begini. Namun sesaat kemudian matanya kembali tertutup, mungkin pengaruh wisky masih berat. Dua jam setengah setelah itu, gempa kuat seakan mengoyak bumi, ia terhenyak, Petrus dan Marwan pun kalang kabut. Dalam keadaan masih honyong, mereka berlari ke luar rumah. Beberapa bangunan roboh. Mereka ketakutan. Belum hilang kepanikan mereka, setengah jam kemudian gelombang besar datang menerjang. Daniel, Petrus, dan lainnya di telan ombak besar yang mengamuk tak kenal ampun. Daniel tak henti-hentinya beristigfar. Ia merasa riwayatnya akan berakhir seperti Fir’aun. Ingat tuhan ketika akan mati. Akankah dosanya terampuni…

Beberapa jam kemudian. Air laut telah surut meninggalkan mayat-mayat beserta puing-puing bangunan. Daniel terdampar di tangga mesjid, tubuhnya terasa remuk redam. Sejenak ia tersadar, ia melihat tubuh Dela berada beberapa langkah di sampingnya kanannya. Tubuh itu terbalut sempurna. wajahnya Pucat pasi tak bernyawa, menghadap ke arahnya. Dela seakan tersenyum melihatnya. Daniel kembali tak sadarkan diri.
*******

Bererapa minggu setelah tsunami…
Daniel terpekur di atas sebuah kuburan raksasa di daerah lambaro, Aceh Besar. Ia menangis terisak sejadi-jadinya. Ia mulai mendesah sendiri. Saat itu ia berkata…
“Dela, kau tahu apa yang paling aku takutkan dalam hidup ini? Aku takut kehilangan, dan selama ini aku telah kehilangan segalanya. Hidupku hampa. Di saat paling hampa, kau hadir mengisinya. Kau percaya padaku, sepenuhnya. Namun kau tak pernah tahu aku adalah manusia paling hina. Selama ini aku takut hidup sendiri. karena itu botol wisky yang selalu menjadi temanku. Namun sekarang aku sadar, bahwa itu bukan solusi untuk mengobati sepiku. Aku sadar Del, masih ada Allah bersamaku. Aku yakin dia masih mencintaiku, masih mau menerima taubatku. Del, Allah telah memanggilmu. Aku tak mampu memilikimu, kau terlalu suci untuk bisa kusentuh dengan tanganku yang penuh noda ini. Aku terlalu kotor untuk bisa memilikimu. Namun sungguh, aku masih berharap bisa bersamamu.”
******

Hujan sudah menderas. Menyuburkan rumput yang menghijau di atas gundukan tanah tersebut. Daniel masih disana, sedang mengirimkan hadiah istimewa untul Dela. Ia dengan khusyu’ melantukankan surat yasin.

“Del, sudah tiga tahun damai terjalin setelah kamu pergi. Kini, walau masih sendiri, aku bisa hidup damai di desa, tanpa harus takut terhadap terjangan peluru, tak ada lagi kontak tembak, dan semoga saja Del, semoga tak ada lagi darah yang mengalir membasahi negri ini. Kalau umurku panjang, tahun depan aku datang lagi. Pada tanggal ini tentunya. Dan aku pasti membawa hadiah spesial untukmu.

“Del, disana pasti ramai dan terang sekali. Lain halnya disini, dari tadi hujan dan awan hitam itu menutupi mentari. Namun tak mengapa, kurasa itulah yang menjadikan kunjunganku kali ini lebih indah. Aku izin dulu ya, aku harus kembali ke desa.” Perlahan langkahnya mulai meninggalkan perkuburan itu. Meninggalkan bunga hatinya yang mungkin sudah mekar di dalam istana surga…

Bawabah permai 18 agustus 2008; 07.30