Nyanyian Cinta Tanpa Koma
Oleh; Masyithah jailani

Apa kabar cinta?
Seindah istana mawarkah engkau disana?
Mewangi, menari…
Merintih kesekian kali?

Kala itu kau bawa setangkai senyum
Tanda kau memendamnya di sana
Atau cinta telah letih lenyap seketika?
Berbaur dengan mega-mega rasa

Apa kabar cinta?
Kerlap-kerlip bintang tak lagi berkejora
Berpendar dengan semerbak cahaya mata putus asa

Apa kabar cinta ?
Taman jalan kita berbeda
Ikrarnya tak sepantasnya

Engkau bisu, termangu, luka membiru…
Berharap tak ada kesudahan itu
Hingga langit runtuh
Menghujam sanubarimu…

Karena suatu hari
Angin berbisik secarik berita sayap merpati
Cahaya mata tak lagi bersemi…
Tanda cinta merajut mimpi
Tanda kasih tanpa koma lagi

puisi

Untuk Gaza
Oleh; Khairul Umam

Suara-suara itu bergemuruh
Tatkala aku membalikkan rupa
Dengan raut membiru resah

Aku coba lepas kapas di telinga
Bukan untuk mendengar kisah
Pun mencoba mencari suara

Ini adalah lelah raksa
Di antara tangisan jiwa
Dalam gumpalan siksa
Sebelum ajal menerpa

Kini hanya mendengar letupan..
Dan puing-puing kehancuran..
Tanpa bisa menimang bocah tanpa kepala
Dengan literan darah yang memuntah

Seharusnya aku tuli dan buta saja
Agar tak mendengar tangisan di sana
Dan melihat ratusan orang tak bernyawa

Masih saja aku di sini
Tapi mata dan telinga berziarah di GAZA
Serasa mati walau sejatinya masih bernyawa

Deraiku di antara tangisan jiwa....

sastra

Ketika Cinta Berbuah Keikhlasan.
Oleh: Erna Dewi Sulaiman.

Warna langit mulai menjingga, pertanda matahari mulai turun di ufuk barat Banda Aceh. Sementara di kejauhan satu dua pohon tegak menjulang di daerah perbukitan, seolah menantang langit lepas yang menggantung tanpa batas. Suara tilawah Qur’an sudah mulai terdengar. Sudah saatnya para santri bersiap-siap ke mesjid. Namun, anak itu masih saja enggan untuk beranjak. Ya, masih di sini, di bangku kantin dayah.

"Bila hari-hari sudah terasa sepi dibandingkan hari sebelumnya, apa yang Ustadz lakukan?" Ujarnya padaku.
"Jika hangatnya persahabatan tak lagi cukup tuk mencurahkan isi hati, apa tindakan yang akan Ustadz ambil?" Tambahnya lagi. Aku bingung.
"Tiba-tiba aja hati ini mendambakan seseorang yang bisa menguatkan di saat lemah. Ustadz, Haris pengen nikah?" Aku terlonjak kanget tapi aku tidak melihat wajahnya sedang bergurau. Anak seumuran dia ingin nikah?

Muhammad Haris, biasa dipanggil Haris, salah satu santri di pondok ini–pondok pesantren Modern Darul Hikmah—yang dekat denganku. Dia sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Kami saling bertukar pikiran bahkan cerita. Namaku Syahrial, biasa santri-santri di sini menambahkan gelar Ustadz di depan namaku. Aku mahasiswa di fakultas Tarbiyah IAIN AR-RANIRY, Banda Aceh.

"Kamu bilang apa tadi, kamu mau menikah Ris?" Aku masih tidak percaya apa yang dikatakannya tadi.
"Ya Ustadz, saya serius mau menikah."
"Kamu serius, nie?" Tanyaku lagi, sepertinya aku salah dengar. Dia justru mengangguk pasti.
"Kamu ini ada-ada aja. Coba kamu pikir-pikir lagi keinginan kamu itu. Ris, bukannya Ustadz nganggap kamu masih kecil tapi menikah itu nggak gampang." Ujarku tak kalah serius juga.
"Haris tahu nikah itu susah apalagi sekarang Haris masih sekolah, belum kerja. Tapi, Haris pikir lebih baik begitu daripada pacaran." Cetusnya kesal.
"Ya, Ustadz paham maksud kamu, niat baik kamu ingin menikahinya bukan tuk pacaran. Tapi apa orangtuamu akan setuju dengan keinginanmu itu?" Dia terdiam.
"Emangnya siapa gadis itu, Ris?" Tanyaku hati-hati. Hening.

"Dia anggota pengurus OSIS juga, satu bagian dengan Haris di bagian Bahasa. Awalnya Haris cuma simpati aja, tapi lama-lama rasa itu berubah lebih dari sekedar perasaan daripada partner biasa. Sejak kami jadi partner, Haris merasa cocok dengannya. Jantung ini sering berdebar –debar tidak karuan setiap kali berhadapan dengannya. Pikiran Haris nggak tenang, teringat dia selalu." Aku mencoba menerka dalam hati siapa gadis itu tapi aku juga belum bisa menebaknya.

"Haris suka bukan karena wajahnya. Dia pengertian banget orangnya, Haris merasa cocok aja dengannya." Haris mulai bercerita lagi tentang gadis itu.
"Jadi, nie ceritanya Ustadz dan teman-teman kamu nggak ngertiin kamu lagi yahh..?" Candaku padanya sambil melirik jenaka kearahnya. Dia pun jadi salah tingkah, aku tertawa melihat sikapnya itu.
"Ya udah, sekarang yang harus kamu pikirkan persiapan tuk UAN nanti, akan ada saatnya sendiri kamu harus memikirkan tentang itu. Mudah-mudahan niat baikmu itu tercapai." Dia mengangguk pasti. Hemm…anak yang baru 18 tahun saja sudah ingin menikah apalagi aku yang telah 25 tahun ini .

"Ustadz kapan nie rencana mau ke sana?" Aku terlonjak kaget mendengar pertanyaannya. Dia tertawa melihat ekspresiku.
"Ketahuan nie, ayo…jangan-jangan tadi Ustadz lagi mikirin itu yahh?! Ayolah cerita ke Haris!" Godanya lagi. Suasana yang awalnya kaku berubah rame dengan derai tawa kami.
"Doakan aja moga proposal Ustadz lulus test." Ujarku tenang.
"Lah, Ustadz nie curang…masa nggak cerita-cerita ke Haris." Dia merajuk.

"Sory…bukannya Ustadz nggak mau cerita, nanti kalau semuanya udah pasti akan Ustadz cerita tapi bukan sekarang, Ris." Jelasku padanya, mengharap pengertiannya.
"Emm…okelah tak apa, tapi janji ya…!" Aku mengangguk sembari tersenyum.
"Ya udah, sekarang kamu balik ke asrama siap-siap ke mesjid, yang lain pada ke mesjid semua tuh!" Kataku mengingatkannya. Dia pun segera beranjak dari tempat duduk.

# # #

Tiga hari kemudian, seusai belajar malam.
"Ustadz…" Dia mengawali percakapan.
"Ya, Ris." Hening, dia tidak bersuara lagi.
"Ada apa, ada masalah?" Dia menggeleng.
"Terus…"
"Ustadz, apakah keinginan Haris bisa terwujud?"
"Keinginan yang mana, Ris?" Tanyaku bingung.
"Nikah." Ku terlongo mendengar kata yang keluar dari mulutnya. Kukira dia telah lupa tentang itu, ternyata dia begitu serius ingin menikah dini.

"Coba Haris tanya lagi pada diri sendiri, apakah benar-benar siap jika nikah sekarang?" Kembali sunyi tanpa suara.
"Kamu banyak-banyak doa aja, kalau dia jodoh kamu pasti kalian akan bersatu juga. Hidup, mati, jodoh, pertemuan, hanya Allah yang menentukan dan kita hanya bisa berdoa." Dia hanya mengangguk.

Beberapa menit kemudian.
"Dia hanya gadis biasa, hanya senyuman yang membuat wajahnya semakin manis. Sejak sering berkomunikasi dengannya, terasa Haris mulai berubah, seperti ada sesuatu yang indah bermain-main di hati ini. Banyangannya selalu hadir, padahal Haris tidak pernah dengan sengaja membayangkannya. Haris tahu, itu sudah termasuk zina hati tapi perasaan itu sudah tak bisa Haris cegah lagi. Makanya Haris ingin nikah." Keluhnya kepadaku. Kini pusat perhatianku sudah tidak terfokus pada ceritanya.

Dulu, aku juga pernah merasakan hal itu bahkan sekarang aku juga sedang merasakan perasaan sama yang sedang dirasakan Haris. Cinta itu memang indah tapi alangkah jeleknya jika diletakkan pada tempat yang salah. Aku juga pernah merasakan bagaimana indahnya jatuh hati pada seorang gadis. Yang membuat senyum semakin merkah, hati selalu terasa berbunga-bunga, seolah-olah semua cinta dan kasih sayang yang ada ingin kuberikan pada sang pujaan hati. Tapi, alangkah sakitnya jika yang kita rasakan hanya bertepuk sebelah tangan. Kecewa, marah, sedih, semua perasaan itu yang akan hadir menghiasi hari-hari kelabu.

Cinta itu fitrah yang dititipkan pada makhlukNya yang bernyawa, namun cinta yang hakiki itu hanya untukNya. CintaNya tidak pernah bertepuk sebelah tangan, kita tidak akan merasa dikhianati, karena Dialah pemilik cinta itu sendiri. Ah, terlalu lemah diri untuk menggapai cinta hakiki.

"Ris, besok hari kamis kan. Kita puasa sunat, yuk!"
"Oke, nanti waktu ifthar jangan lupa doain Haris ya, kan doa kita mustajab pada saat itu." Pintanya sambil ketawa, kutahu dia serius.
"InsyaAllah, selalu Ustadz doakan moga semua urusan kita diberi jalan kemudahan."


# # #

Hari berganti hari, jarum jam terus berputar dari angka satu ke angka yang lain, membuat roda kehidupan ini terus berjalan. Tak terasa sudah beberapa hari ini aku dan Haris tidak bertegur sapa, sepertinya dia sengaja menghindar dariku. Aneh, apa ada yang salah?!?! Padahal aku ingin memberitahunya sesuatu yang pernah kujanjikan dulu.

"Ustadz, mabruk ya!" Ucapnya sambil mengulurkan tangan padaku. Hah, mabruk tuk apa ya? Jangan-jangan dia udah tahu tentang proposalku itu, tapi darimana dia tahu sedangkan aku belum memberitahu siapa pun. Namun, aku tidak melihat senyum ramah di wajahnya.

"Mabruk atas apa Ris? Kamu ini, udah berhari-hari hilang jejak, sekali bertemu malah buat Ustadz bingung gini. Sini duduk dulu, udah lama kita nggak cerita-cerita, ya kan." Kataku manis padanya sambil menyuruhnya duduk.
"Nggak perlu Ustadz, Haris malas ngomong ama Ustadz." Ketusnya. Aku terkesiap, ada apa dengan anak ini?

"Lho..lho kenapa Ris. Ada yang salah dengan Ustadz?"
"Haris nggak nyangka Ustadz bisa ngelakuin semua itu untuk Haris." Aku bingung, sama sekali tidak paham.
"Maksud kamu, Ris?" Hatiku mulai resah tapi aku berusaha untuk menutupinya.
"Mulai hari ini Haris nggak percaya lagi ama Ustadz. Ustadz tega ngelakuin semua itu." Katanya dengan dada gemuruh menahan amarah. Dia menyodorkanku secarik kertas dan langsung ngeloyor begitu saja dari hadapanku. Aku penasaran dan segera membukanya.

Teruntuk sahabatku, Haris
Moga selalu dalam lindunganNya.

Atas nama cinta dan keagungannya, moga ini jawaban yang terbaik. Sebelumnya Dara minta maaf karena baru hari ini bisa menjelaskan semua ini. Ris, apakah orang yang bimbang terhadap hatinya dikatakan bersalah? Apakah manusia tidak boleh menyimpan kebimbangan apalagi soal cinta? Nggak kan. Dara hanya seorang manusia yang bisa khilaf terutama ketika di uji dengan sesuatu bernama 'cinta'.

Jujur, Dara nggak bisa memungkiri hal itu, rasa itu pernah hadir di hati ini tapi Dara tidak pernah membiarkan dia tumbuh bersemi. Dara nggak ingin ukhwah persahabatan yang terjalin di antara kita berubah. Setiap yang sudah Dara anggap sahabat, Dara akan berusaha tuk menjaganya kecuali kalau takdir menentukan lain.

Satu bulan yang lalu, Ust. Syahrial telah lebih dulu menunjukkan keberaniannya ingin menyempurnakan Diennya dan orangtua Dara pun telah menerima lamarannya. Maaf kalau ini menyakitimu. Dara nggak tahu harus berbuat apalagi. Hidup, mati, pertemuan dan perpisahan hanya Dia yang mengaturnya. Moga Haris dipertemukan dengan seseorang yang lebih baik dari seorang hamba yang lemah ini. Sekali lagi Dara minta maaf kalau ini telah menoreh luka di hatimu, moga Allah mengampuni kesalahan Dara ini.

Tertanda

Dara Jaisika Maitiara Sari


Tuhan, apa yang telah kulakukan. Aku sama sekali tidak menyangka perbuatanku ini telah menyakitinya, yang telah kuanggap adikku sendiri. Aku tidak tahu kalau gadis yang selama ini diceritakannya adalah gadis yang kutaqdim. Apa yang harus kuperbuat sekarang? Aku resah, sedih.

# # #


Sudah seminggu ini Haris bolos, dia izin pulang ke rumah sebentar tapi sampai hari ini dia juga belum kembali. Semua Ustazd mempertanyakan keberadaannya. Aku resah, merasa tak enak hati padanya. Apa yang telah kulakukan begitu menyakitinya. Masalah cinta bukan hal yang biasa tapi ini tentang perasaan. Aku cuma bisa berdoa, moga dia baik-baik saja di sana.

Hari kesepuluh dia pun kembali ke dayah. Aku begitu sedih, rasa bersalah itu semakin menghujamku. Aku sama sekali tidak bisa berkutik. Dia akan pindah sekolah padahal dua bulan lagi UAN akan tiba. Tuhan, aku sama sekali tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak bisa memnyembunyikan rasa itu. Aku tahu dia masih terluka. Apakah aku harus menulis surat pengunduran diriku untuk Dara lalu berharap dia menerima Haris. Tapi…itu tidak mungkin. Lalu, apa yang harus kulakukan juga???

"Ustadz, Haris izin dulu. Haris minta maaf karena dulu udah marah-marah ke Ustadz." Ujarnya padaku sebelum dia pergi. Aku sama sekali tak bisa memnyembunyikan rasa sedihku itu. Lidahku kelu, tak satu patah kata pun bisa ucapkan.

"Sekarang Haris paham, bukan sepenuhnya salah Ustadz, tapi semua tergantung hati juga. Haris yakin, Ustadz lebih mapan dari Haris makanya Dara lebih memilih Ustadz." Tambahnya lagi.

"Maafkan Ustadz, Ris." Cuma satu kalimat itu yang keluar dari mulutku. Aku sama sekali tidak bisa menahan air mata. Benteng pertahananku akhirnya jebol juga. Ini sejarah pertamaku bisa menangis. Ternyata dia lebih baik dariku, dia telah berhasil menguasai ilmu ikhlas itu. Dia lebih tegar. Sedangkan aku…? Apa yang telah kulakukan.

"Moga Haris pindah bisa membuat Haris lebih tenang dan bisa melupakan semua itu biarpun sangat susah Haris lakukan. Doakan Haris, Ustadz." Aku memeluknya erat, sangat erat seperti akan kehilangan seorang adik.

"Selamat jalan adikku, moga Allah membalas semua keikhlasanmu itu dengan yang lebih baik." Doaku dalam hati. Jaga dia Tuhan…!

Prolog.
Ujian akhir Nasional pun berakhir, semua santri kelas tiga lulus dengan nilai yang memuaskan begitu juga dengan Haris di sekolahnya yang baru. Aku dan Dara akan menikah bulan depan.

Menjelang seminggu sebelum pernikahanku.
Dara masuk rumah sakit, sudah beberapa hari ini dia demam. Dulu dia pernah kena gejala Tipus dan sekarang Tipusnya kambuh. Demamnya tak kunjung turun. Kemarin dia muntah darah, aku begitu risau sedangkan orangtuanya sudah pasrah. Hanya dengan doa yang bisa kami harapkan kesembuhannya.

Pagi itu kelabu, tepatnya pukul 10, Dara meninggalkan kami untuk selamanya. Aku harus merelakan kepergiannya. Ris, ajarkan Ustadz keikhlasan itu…!


Istanaku, 5 maret 2009

Cerpen

Bara Di Ujung Sumatra
Oleh; Hilal Fansuri

Langit tiba-tiba saja mendung. Cuaca berubah dengan cepat. Padahal sejam yang lalu sinar matahari teriknya menggila. Kini, Awan-awan hitam datang berarak. Suara guntur mulai memberi peringatan. Desau angin seakan berbisik pada manusia untuk segera mencari tempat berteduh. Namun pria itu masih terus berjalan mendekati sebuah perkuburan raksasa. Di dalamnya terdapat ratusan ribu jasad manusia yang mungkin sudah menjadi kerangka. Salah satunya jasad orang terakhir yang ia cintai dan mencintainya. Ia mulai menaburkan bunga. Bunga Itu, mawar melati yang ia tanam di perkarangan rumahnya, khusus untuk ia tabur di sana tiap tahunnya. Gerimis menyapa perlahan, menyirami melati dengan lembut. Aromanya semerbak. Pemuda itu mulai meneteskan air mata. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

Ia mulai mendesak. Suaranya kecil. Hanya terdengar oleh semut-semut yang mulai membuat sarang di samping kuburan itu.

“Dela, aku datang lagi, menjengukmu di sini? Apa kabarmu Del? Di dalam sana pasti ramai sekali, pasti tak pernah sepi. Setidaknya ada malaikat baik yang menemani. Sedangkan aku disini, masih sendiri. Tak ada yang menemani. Tanpa Allah di hati, aku masih sepi, namun sekarang aku sudah bisa menghadirkan-Nya disini, di hati, aku tak lagi merasa sepi.”

Gelegar guntur tiba-tiba membawanya kembali pada bayang-bayang hitam kelam kehidupannya beberapa tahun lalu. Saat negerinya sedang dilanda bara perang saudara, mayat dimana-mana. Darah yang kadang mengalir memenuhi selokan. Bercampur menodai jernihnya air sungai di kampungnya.

Petaka dalam hidupnya dimulai, saat itu petir di langit menggelegar dan hujan menyirami bumi. Ia baru saja pulang dengan sebuah ijazah kebanggaannya untuk ia perlihatkan pada keluarganya. Namun Daniel malah kehilangan segalanya. Ia telah kehilangan orang tua, abang dan kakaknya dalam sebuah pembunuhan berdarah yang baru terjadi di perkarangan rumahnya. Daniel akhirnya memutuskan menyingkir ke kota Banda Aceh untuk menyelamatkan nyawa. Saat itu, di tengah bara konflik yang semakin memanas, siapa saja bisa menjadi korban fitnah, siapa saja bisa kena peluru nyasar. Berada di desa, ia terus di hantui dengan bayang-bayang peluru nyasar yang kapan saja bisa menembus tempurung kepalanya. Ia juga trauma dengan bayang-bayang mayat orang-orang yang ia cintai, ia trauma dengan bau anyir darah yang mengalir memenuhi selokan rumahnya.

Dengan bekal seadanya ia memutuskan mengundi nasib ke Banda Aceh, sambil berharap ada yang akan berubah dari hidupnya. Berbeda dengan kawan-kawannya yang juga korban konflik, mereka lebih memilih bertahan di desa walau bahaya bisa datang kapan saja.

Seminggu di Banda Aceh, bekalnya semakin menipis, ia juga belum punya tempat tinggal, ia bahkan belum mulai bekerja sedikitpun. Ke banda aceh, ia bahkan lupa membawa ijazah SMA-nya. Suatu ketika semua perbekalannya ludes dicuri orang. Ia semakin merana. Ia mulai tidur di kolong jembatan, mulai mencari makanan sisa di tempat-tempat sampah hanya untuk sekedar mengisi perutnya yang kosong total. Suasana kota yang kurang bersahabat dengannya, membuatnya semakin tertekan. Saat itu, dengan kondisi iman yang semakin menipis, ia ingin berontak pada lingkungan tersebut.

Saat itu, malam telah larut, manusia-manusia sedang menikmati damai di alam mimpi. Daniel juga lelah, ia ingin sejenak memejamkan mata untuk berjumpa dengan Abi dan Umminya di alam sana. Jika nanti benar-benar jumpa, ia ingin berkata pada mereka; “Abi, Ummi, Daniel lelah, Daniel ingin ikut sama kalian saja disana, disini tak ada yang mau menemani Daniel.” Daniel memang sedikit manja dengan orang tuanya, maklum saja ia anak terakhir. Namun tiba-tiba, saat mata Daniel semakin terpejam, saat ia hendak bertemu umminya…

“Door, Door, Door...!

Suara tembakan memecah keheningan. Ia terhenyak dan gemetar ketakutan. Ia tak ingin ada lagi darah yang mengalir di hadapannya. Tiba-tiba, seorang pria berkulit gelap jatuh sekonyong-konyong di hadapannya. Darah terus merembes dari kaki kanannya. Sebuah peluru bersarang disana.

“Anak muda, tolong aku, tolong jangan beritahu polisi keberadaanku” ucap buronan tersebut. Daniel semakin gemetar, ia mengangguk pelan. Si buron bersembunyi.

Tak lama kemudian polisi datang menanyakan seorang buronan berkulit gelap bernama Petrus. Daniel menunjuk penuh yakin ke arah samping kanannya, ke arah yang salah. Tanpa sadar, saat itu ia telah menyelamatkan seorang gembong mafia.

Beberapa hari kemudian Petrus mendatanginya untuk berterima kasih. Mulai saat itu ia semakin dekat dengan petrus dan kelompoknya. Ia merasa hanya Petrus yang mau menjadi temannya. Hingga suatu saat, ia memutuskan bergabung dengan sindikat mafia narkotika tersebut. Petrus menyambutnya gembira. Mulailah ia tersesat ke lembah hitam, namun ia tetaplah belum sanggup melihat darah. Petrus mempercayakannya untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran barang tiap bulan.

********

Malam itu, ia berdiri sendiri di depan cermin, tersenyum.
"Daniel, Daniel muhammad." Ucapnya sambil menyodorkan tangan kanannya, meniru kembali gaya perkenalannya dengan gadis itu. Gaya yang sebenarnya agak kampungan, karena ia hanya pria kampung yang belum terlalu memahami sisi-sisi kehidupan kota. Ia bahkan belum tahu trik berkenalan dengan seorang wanita. Namun cinta terlalu cepat menyapanya. Mungkin tuhan ingin mengubah kelam hidupnya, dengan cinta.

Cinta itu bernama Dalilah, biasa dipanggil Dela. Kehadirannya sejenak bisa membuatnya melupakan bayang-bayang darah yang pernah mengalir memenuhi perkarangan rumahnya. Teduh wajahnya bisa menahan benih-benih dendam yang tumbuh di tiap sel-sel darahnya. Ia hadir dalam hidupnya, tiba-tiba saja, tanpa diundang, tanpa disangka. Ia hadir mengisi hari-harinya yang kelam, menghiasi malam-malamnya yang gersang. Ia hadir mengembalikan impiannya yang sempat hilang. Benarlah kata pepatah, cinta itu bisa datang kapan saja, dimana saja, tanpa mengenal usia.

Sore itu Dela baru saja pulang kuliah tambahan, saat seorang pencuri berusaha merampas tas jinjingnya. Spontan saja daniel menolongnya. Ia menghajar pencuri tersebut. Lalu mengembalikan tas Dela. Ia tak sadar saat mengahajar pencuri tersebut, dompet Dela terjatuh dari tasnya. Ia baru sadar ketika Dela sudah naik bis. Esok harinya dari pagi hingga sore ia menunggu Dela di lingkungan kampus untuk mengembalikan dompetnya. Ia berjumpa dengan Dela, ia kembalikan dompetnya. Saat itulah ia berkenalan dengan Dela… Hari demi hari, Daniel semakin dekat dengannya. Dela hadir dalam hidupnya saat ia telah merasa kehilangan segalanya.

******

Sudah tiga tahun ia tersesat ke dunia hitam. Dunia yang sebenarnya membuatnya juga menderita batin. Namun, sejak dua bulan yang lalu ia bertemu Dela, ada kedamaian yang menyusup ke relung hatinya. Terutama sejak Dela menerima cintanya. Dela juga mengajaknya segera menikah. Ia sempat gugup, namun kini tekadnya sudah bulat. Ia ingin kembali ke jalan yang benar. Daniel menilai, Dela adalah seorang gadis shalehah, bahkan sejak ia menyatakan cintanya, ia tak pernah lagi bertemu dengannya. Paling sesekali sekedar sms-an. Daniel berulang-ulang membaca sebuah sms dari Dela.

“Bersabar sajalah, pertemuan kita setelah ijab qabul akan lebih indah”

Ia semakin bertekat untuk menjadikannya sebagai pembimbing hidupnya.

“Tok, tok, tok!”
Ketukan pintu membuyarkan lamunan Daniel. Ia membuka pintu, Petrus dan Marwan datang.
“Hei bung! Ke mana aja lu, kagak pernah lagi ke markas!” Ucap Marwan. Daniel hanya tersenyum simpul.
“Dan, walaupun kamu mau berhenti bekerja sama kami, aku bisa maklumi. Namun kali ini ada kabar gembira untukmu” Petrus memegang bahunya.
“kabar apa itu, bang?” tanya Daniel heran.
“Barang yang kita selundupkan bulan lalu sudah sampai dengan aman, mantap juga cara yang kau usulkan, Dan!”
Daniel tersenyum agak dipaksa. Ia merasa menyesal telah memberikan ide.
“Malam ini kami ingin memberikan jatahmu, sekalian kita merayakan keberhasilan ini.” Ujar Marwan sambil meletakkan uang dan beberapa botol wisky di atas meja.
“Maaf bang, aku gak bisa menerima ini, aku merasa gak membantu apa-apa, kemarin aku sekedar memberi ide. Pun, aku kurang sehat. Dokter bilang, aku harus berhenti minum.” Balas Daniel sekedar beralasan.
“Kalau kau tak mau minum lagi, ya sudah, aku bisa terima. Tapi uang ini harus kau ambil, ini jatahmu, kawan!”
“Baiklah.” Ucap Daniel sambil tersenyum santai. Ia ingin membagikannya pada fakir miskin, daripada uang itu di mamfaatkan untuk hura-hura oleh mereka. Petrus tersenyum lebar.

“Emm, kalau lu kagak mau minum, ya sudah, biar kami yang tegak ini wisky” ujar Marwan. Daniel diam, ia serba salah, tak tahu harus bagaimana.
Petrus dan Marwan segera menegak wisky tersebut. Petrus meraih remote televisi, ia memilih berita. Ada berita kriminal, si reporter sedang meliput pembunuhan satu keluarga yang sangat sadis, darah dimana-mana. Siaran tersebut juga menampakkan potongan-potongan mayat secara transparan. Daniel terhenyak. Ia menggigil. Bayangan peristiwa tragis yang menimpa keluarganya tiga tahun lalu Kembali hadir. Ia memegang keras kepalanya. Trauma itu belum hilang. Selama ini, biasanya untuk menghadapi keadaan begitu, ia perlu penenang, ia perlu wisky. Tanpa pikir panjang ia langsung menegak wisky. Ia menghabiskan dua botol sekaligus. Ia mabuk. Kemudian tak sadarkan diri. Petrus dan Marwan yang sudah mabuk heran melihatnya.

“Tit, tit.. Tit, tit..” Jam 5.30 sebuah sms masuk. Dengan penuh rasa malas ia membuka hp-nya. Dari Dela… Ia membacanya

“Bang, bersabarlah…
Sepahit apapun getir kehidupan yang kau rasa
Sesakit apapun luka yang kau derita
Sesusah apapun jalan yang kau telusuri
Tegarlah, seperti karang di lautan yang tak tergoyahkan riak gelombang
Bang, bangun shalat subuh…”

Sejenak ia merasa ada yang aneh, tak biasanya Dela mengirim sms begini. Namun sesaat kemudian matanya kembali tertutup, mungkin pengaruh wisky masih berat. Dua jam setengah setelah itu, gempa kuat seakan mengoyak bumi, ia terhenyak, Petrus dan Marwan pun kalang kabut. Dalam keadaan masih honyong, mereka berlari ke luar rumah. Beberapa bangunan roboh. Mereka ketakutan. Belum hilang kepanikan mereka, setengah jam kemudian gelombang besar datang menerjang. Daniel, Petrus, dan lainnya di telan ombak besar yang mengamuk tak kenal ampun. Daniel tak henti-hentinya beristigfar. Ia merasa riwayatnya akan berakhir seperti Fir’aun. Ingat tuhan ketika akan mati. Akankah dosanya terampuni…

Beberapa jam kemudian. Air laut telah surut meninggalkan mayat-mayat beserta puing-puing bangunan. Daniel terdampar di tangga mesjid, tubuhnya terasa remuk redam. Sejenak ia tersadar, ia melihat tubuh Dela berada beberapa langkah di sampingnya kanannya. Tubuh itu terbalut sempurna. wajahnya Pucat pasi tak bernyawa, menghadap ke arahnya. Dela seakan tersenyum melihatnya. Daniel kembali tak sadarkan diri.
*******

Bererapa minggu setelah tsunami…
Daniel terpekur di atas sebuah kuburan raksasa di daerah lambaro, Aceh Besar. Ia menangis terisak sejadi-jadinya. Ia mulai mendesah sendiri. Saat itu ia berkata…
“Dela, kau tahu apa yang paling aku takutkan dalam hidup ini? Aku takut kehilangan, dan selama ini aku telah kehilangan segalanya. Hidupku hampa. Di saat paling hampa, kau hadir mengisinya. Kau percaya padaku, sepenuhnya. Namun kau tak pernah tahu aku adalah manusia paling hina. Selama ini aku takut hidup sendiri. karena itu botol wisky yang selalu menjadi temanku. Namun sekarang aku sadar, bahwa itu bukan solusi untuk mengobati sepiku. Aku sadar Del, masih ada Allah bersamaku. Aku yakin dia masih mencintaiku, masih mau menerima taubatku. Del, Allah telah memanggilmu. Aku tak mampu memilikimu, kau terlalu suci untuk bisa kusentuh dengan tanganku yang penuh noda ini. Aku terlalu kotor untuk bisa memilikimu. Namun sungguh, aku masih berharap bisa bersamamu.”
******

Hujan sudah menderas. Menyuburkan rumput yang menghijau di atas gundukan tanah tersebut. Daniel masih disana, sedang mengirimkan hadiah istimewa untul Dela. Ia dengan khusyu’ melantukankan surat yasin.

“Del, sudah tiga tahun damai terjalin setelah kamu pergi. Kini, walau masih sendiri, aku bisa hidup damai di desa, tanpa harus takut terhadap terjangan peluru, tak ada lagi kontak tembak, dan semoga saja Del, semoga tak ada lagi darah yang mengalir membasahi negri ini. Kalau umurku panjang, tahun depan aku datang lagi. Pada tanggal ini tentunya. Dan aku pasti membawa hadiah spesial untukmu.

“Del, disana pasti ramai dan terang sekali. Lain halnya disini, dari tadi hujan dan awan hitam itu menutupi mentari. Namun tak mengapa, kurasa itulah yang menjadikan kunjunganku kali ini lebih indah. Aku izin dulu ya, aku harus kembali ke desa.” Perlahan langkahnya mulai meninggalkan perkuburan itu. Meninggalkan bunga hatinya yang mungkin sudah mekar di dalam istana surga…

Bawabah permai 18 agustus 2008; 07.30