sastra

Ketika Cinta Berbuah Keikhlasan.
Oleh: Erna Dewi Sulaiman.

Warna langit mulai menjingga, pertanda matahari mulai turun di ufuk barat Banda Aceh. Sementara di kejauhan satu dua pohon tegak menjulang di daerah perbukitan, seolah menantang langit lepas yang menggantung tanpa batas. Suara tilawah Qur’an sudah mulai terdengar. Sudah saatnya para santri bersiap-siap ke mesjid. Namun, anak itu masih saja enggan untuk beranjak. Ya, masih di sini, di bangku kantin dayah.

"Bila hari-hari sudah terasa sepi dibandingkan hari sebelumnya, apa yang Ustadz lakukan?" Ujarnya padaku.
"Jika hangatnya persahabatan tak lagi cukup tuk mencurahkan isi hati, apa tindakan yang akan Ustadz ambil?" Tambahnya lagi. Aku bingung.
"Tiba-tiba aja hati ini mendambakan seseorang yang bisa menguatkan di saat lemah. Ustadz, Haris pengen nikah?" Aku terlonjak kanget tapi aku tidak melihat wajahnya sedang bergurau. Anak seumuran dia ingin nikah?

Muhammad Haris, biasa dipanggil Haris, salah satu santri di pondok ini–pondok pesantren Modern Darul Hikmah—yang dekat denganku. Dia sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Kami saling bertukar pikiran bahkan cerita. Namaku Syahrial, biasa santri-santri di sini menambahkan gelar Ustadz di depan namaku. Aku mahasiswa di fakultas Tarbiyah IAIN AR-RANIRY, Banda Aceh.

"Kamu bilang apa tadi, kamu mau menikah Ris?" Aku masih tidak percaya apa yang dikatakannya tadi.
"Ya Ustadz, saya serius mau menikah."
"Kamu serius, nie?" Tanyaku lagi, sepertinya aku salah dengar. Dia justru mengangguk pasti.
"Kamu ini ada-ada aja. Coba kamu pikir-pikir lagi keinginan kamu itu. Ris, bukannya Ustadz nganggap kamu masih kecil tapi menikah itu nggak gampang." Ujarku tak kalah serius juga.
"Haris tahu nikah itu susah apalagi sekarang Haris masih sekolah, belum kerja. Tapi, Haris pikir lebih baik begitu daripada pacaran." Cetusnya kesal.
"Ya, Ustadz paham maksud kamu, niat baik kamu ingin menikahinya bukan tuk pacaran. Tapi apa orangtuamu akan setuju dengan keinginanmu itu?" Dia terdiam.
"Emangnya siapa gadis itu, Ris?" Tanyaku hati-hati. Hening.

"Dia anggota pengurus OSIS juga, satu bagian dengan Haris di bagian Bahasa. Awalnya Haris cuma simpati aja, tapi lama-lama rasa itu berubah lebih dari sekedar perasaan daripada partner biasa. Sejak kami jadi partner, Haris merasa cocok dengannya. Jantung ini sering berdebar –debar tidak karuan setiap kali berhadapan dengannya. Pikiran Haris nggak tenang, teringat dia selalu." Aku mencoba menerka dalam hati siapa gadis itu tapi aku juga belum bisa menebaknya.

"Haris suka bukan karena wajahnya. Dia pengertian banget orangnya, Haris merasa cocok aja dengannya." Haris mulai bercerita lagi tentang gadis itu.
"Jadi, nie ceritanya Ustadz dan teman-teman kamu nggak ngertiin kamu lagi yahh..?" Candaku padanya sambil melirik jenaka kearahnya. Dia pun jadi salah tingkah, aku tertawa melihat sikapnya itu.
"Ya udah, sekarang yang harus kamu pikirkan persiapan tuk UAN nanti, akan ada saatnya sendiri kamu harus memikirkan tentang itu. Mudah-mudahan niat baikmu itu tercapai." Dia mengangguk pasti. Hemm…anak yang baru 18 tahun saja sudah ingin menikah apalagi aku yang telah 25 tahun ini .

"Ustadz kapan nie rencana mau ke sana?" Aku terlonjak kaget mendengar pertanyaannya. Dia tertawa melihat ekspresiku.
"Ketahuan nie, ayo…jangan-jangan tadi Ustadz lagi mikirin itu yahh?! Ayolah cerita ke Haris!" Godanya lagi. Suasana yang awalnya kaku berubah rame dengan derai tawa kami.
"Doakan aja moga proposal Ustadz lulus test." Ujarku tenang.
"Lah, Ustadz nie curang…masa nggak cerita-cerita ke Haris." Dia merajuk.

"Sory…bukannya Ustadz nggak mau cerita, nanti kalau semuanya udah pasti akan Ustadz cerita tapi bukan sekarang, Ris." Jelasku padanya, mengharap pengertiannya.
"Emm…okelah tak apa, tapi janji ya…!" Aku mengangguk sembari tersenyum.
"Ya udah, sekarang kamu balik ke asrama siap-siap ke mesjid, yang lain pada ke mesjid semua tuh!" Kataku mengingatkannya. Dia pun segera beranjak dari tempat duduk.

# # #

Tiga hari kemudian, seusai belajar malam.
"Ustadz…" Dia mengawali percakapan.
"Ya, Ris." Hening, dia tidak bersuara lagi.
"Ada apa, ada masalah?" Dia menggeleng.
"Terus…"
"Ustadz, apakah keinginan Haris bisa terwujud?"
"Keinginan yang mana, Ris?" Tanyaku bingung.
"Nikah." Ku terlongo mendengar kata yang keluar dari mulutnya. Kukira dia telah lupa tentang itu, ternyata dia begitu serius ingin menikah dini.

"Coba Haris tanya lagi pada diri sendiri, apakah benar-benar siap jika nikah sekarang?" Kembali sunyi tanpa suara.
"Kamu banyak-banyak doa aja, kalau dia jodoh kamu pasti kalian akan bersatu juga. Hidup, mati, jodoh, pertemuan, hanya Allah yang menentukan dan kita hanya bisa berdoa." Dia hanya mengangguk.

Beberapa menit kemudian.
"Dia hanya gadis biasa, hanya senyuman yang membuat wajahnya semakin manis. Sejak sering berkomunikasi dengannya, terasa Haris mulai berubah, seperti ada sesuatu yang indah bermain-main di hati ini. Banyangannya selalu hadir, padahal Haris tidak pernah dengan sengaja membayangkannya. Haris tahu, itu sudah termasuk zina hati tapi perasaan itu sudah tak bisa Haris cegah lagi. Makanya Haris ingin nikah." Keluhnya kepadaku. Kini pusat perhatianku sudah tidak terfokus pada ceritanya.

Dulu, aku juga pernah merasakan hal itu bahkan sekarang aku juga sedang merasakan perasaan sama yang sedang dirasakan Haris. Cinta itu memang indah tapi alangkah jeleknya jika diletakkan pada tempat yang salah. Aku juga pernah merasakan bagaimana indahnya jatuh hati pada seorang gadis. Yang membuat senyum semakin merkah, hati selalu terasa berbunga-bunga, seolah-olah semua cinta dan kasih sayang yang ada ingin kuberikan pada sang pujaan hati. Tapi, alangkah sakitnya jika yang kita rasakan hanya bertepuk sebelah tangan. Kecewa, marah, sedih, semua perasaan itu yang akan hadir menghiasi hari-hari kelabu.

Cinta itu fitrah yang dititipkan pada makhlukNya yang bernyawa, namun cinta yang hakiki itu hanya untukNya. CintaNya tidak pernah bertepuk sebelah tangan, kita tidak akan merasa dikhianati, karena Dialah pemilik cinta itu sendiri. Ah, terlalu lemah diri untuk menggapai cinta hakiki.

"Ris, besok hari kamis kan. Kita puasa sunat, yuk!"
"Oke, nanti waktu ifthar jangan lupa doain Haris ya, kan doa kita mustajab pada saat itu." Pintanya sambil ketawa, kutahu dia serius.
"InsyaAllah, selalu Ustadz doakan moga semua urusan kita diberi jalan kemudahan."


# # #

Hari berganti hari, jarum jam terus berputar dari angka satu ke angka yang lain, membuat roda kehidupan ini terus berjalan. Tak terasa sudah beberapa hari ini aku dan Haris tidak bertegur sapa, sepertinya dia sengaja menghindar dariku. Aneh, apa ada yang salah?!?! Padahal aku ingin memberitahunya sesuatu yang pernah kujanjikan dulu.

"Ustadz, mabruk ya!" Ucapnya sambil mengulurkan tangan padaku. Hah, mabruk tuk apa ya? Jangan-jangan dia udah tahu tentang proposalku itu, tapi darimana dia tahu sedangkan aku belum memberitahu siapa pun. Namun, aku tidak melihat senyum ramah di wajahnya.

"Mabruk atas apa Ris? Kamu ini, udah berhari-hari hilang jejak, sekali bertemu malah buat Ustadz bingung gini. Sini duduk dulu, udah lama kita nggak cerita-cerita, ya kan." Kataku manis padanya sambil menyuruhnya duduk.
"Nggak perlu Ustadz, Haris malas ngomong ama Ustadz." Ketusnya. Aku terkesiap, ada apa dengan anak ini?

"Lho..lho kenapa Ris. Ada yang salah dengan Ustadz?"
"Haris nggak nyangka Ustadz bisa ngelakuin semua itu untuk Haris." Aku bingung, sama sekali tidak paham.
"Maksud kamu, Ris?" Hatiku mulai resah tapi aku berusaha untuk menutupinya.
"Mulai hari ini Haris nggak percaya lagi ama Ustadz. Ustadz tega ngelakuin semua itu." Katanya dengan dada gemuruh menahan amarah. Dia menyodorkanku secarik kertas dan langsung ngeloyor begitu saja dari hadapanku. Aku penasaran dan segera membukanya.

Teruntuk sahabatku, Haris
Moga selalu dalam lindunganNya.

Atas nama cinta dan keagungannya, moga ini jawaban yang terbaik. Sebelumnya Dara minta maaf karena baru hari ini bisa menjelaskan semua ini. Ris, apakah orang yang bimbang terhadap hatinya dikatakan bersalah? Apakah manusia tidak boleh menyimpan kebimbangan apalagi soal cinta? Nggak kan. Dara hanya seorang manusia yang bisa khilaf terutama ketika di uji dengan sesuatu bernama 'cinta'.

Jujur, Dara nggak bisa memungkiri hal itu, rasa itu pernah hadir di hati ini tapi Dara tidak pernah membiarkan dia tumbuh bersemi. Dara nggak ingin ukhwah persahabatan yang terjalin di antara kita berubah. Setiap yang sudah Dara anggap sahabat, Dara akan berusaha tuk menjaganya kecuali kalau takdir menentukan lain.

Satu bulan yang lalu, Ust. Syahrial telah lebih dulu menunjukkan keberaniannya ingin menyempurnakan Diennya dan orangtua Dara pun telah menerima lamarannya. Maaf kalau ini menyakitimu. Dara nggak tahu harus berbuat apalagi. Hidup, mati, pertemuan dan perpisahan hanya Dia yang mengaturnya. Moga Haris dipertemukan dengan seseorang yang lebih baik dari seorang hamba yang lemah ini. Sekali lagi Dara minta maaf kalau ini telah menoreh luka di hatimu, moga Allah mengampuni kesalahan Dara ini.

Tertanda

Dara Jaisika Maitiara Sari


Tuhan, apa yang telah kulakukan. Aku sama sekali tidak menyangka perbuatanku ini telah menyakitinya, yang telah kuanggap adikku sendiri. Aku tidak tahu kalau gadis yang selama ini diceritakannya adalah gadis yang kutaqdim. Apa yang harus kuperbuat sekarang? Aku resah, sedih.

# # #


Sudah seminggu ini Haris bolos, dia izin pulang ke rumah sebentar tapi sampai hari ini dia juga belum kembali. Semua Ustazd mempertanyakan keberadaannya. Aku resah, merasa tak enak hati padanya. Apa yang telah kulakukan begitu menyakitinya. Masalah cinta bukan hal yang biasa tapi ini tentang perasaan. Aku cuma bisa berdoa, moga dia baik-baik saja di sana.

Hari kesepuluh dia pun kembali ke dayah. Aku begitu sedih, rasa bersalah itu semakin menghujamku. Aku sama sekali tidak bisa berkutik. Dia akan pindah sekolah padahal dua bulan lagi UAN akan tiba. Tuhan, aku sama sekali tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak bisa memnyembunyikan rasa itu. Aku tahu dia masih terluka. Apakah aku harus menulis surat pengunduran diriku untuk Dara lalu berharap dia menerima Haris. Tapi…itu tidak mungkin. Lalu, apa yang harus kulakukan juga???

"Ustadz, Haris izin dulu. Haris minta maaf karena dulu udah marah-marah ke Ustadz." Ujarnya padaku sebelum dia pergi. Aku sama sekali tak bisa memnyembunyikan rasa sedihku itu. Lidahku kelu, tak satu patah kata pun bisa ucapkan.

"Sekarang Haris paham, bukan sepenuhnya salah Ustadz, tapi semua tergantung hati juga. Haris yakin, Ustadz lebih mapan dari Haris makanya Dara lebih memilih Ustadz." Tambahnya lagi.

"Maafkan Ustadz, Ris." Cuma satu kalimat itu yang keluar dari mulutku. Aku sama sekali tidak bisa menahan air mata. Benteng pertahananku akhirnya jebol juga. Ini sejarah pertamaku bisa menangis. Ternyata dia lebih baik dariku, dia telah berhasil menguasai ilmu ikhlas itu. Dia lebih tegar. Sedangkan aku…? Apa yang telah kulakukan.

"Moga Haris pindah bisa membuat Haris lebih tenang dan bisa melupakan semua itu biarpun sangat susah Haris lakukan. Doakan Haris, Ustadz." Aku memeluknya erat, sangat erat seperti akan kehilangan seorang adik.

"Selamat jalan adikku, moga Allah membalas semua keikhlasanmu itu dengan yang lebih baik." Doaku dalam hati. Jaga dia Tuhan…!

Prolog.
Ujian akhir Nasional pun berakhir, semua santri kelas tiga lulus dengan nilai yang memuaskan begitu juga dengan Haris di sekolahnya yang baru. Aku dan Dara akan menikah bulan depan.

Menjelang seminggu sebelum pernikahanku.
Dara masuk rumah sakit, sudah beberapa hari ini dia demam. Dulu dia pernah kena gejala Tipus dan sekarang Tipusnya kambuh. Demamnya tak kunjung turun. Kemarin dia muntah darah, aku begitu risau sedangkan orangtuanya sudah pasrah. Hanya dengan doa yang bisa kami harapkan kesembuhannya.

Pagi itu kelabu, tepatnya pukul 10, Dara meninggalkan kami untuk selamanya. Aku harus merelakan kepergiannya. Ris, ajarkan Ustadz keikhlasan itu…!


Istanaku, 5 maret 2009
0 Responses